Kendari , wartapers.com || - Dalam waktu kurang dari sebulan, masyarakat Sulawesi Tenggara dihadapkan pada tiga tragedi kemanusiaan yang menggambarkan bukan hanya kegagalan sistem layanan kesehatan, tapi juga kegagalan negara dalam melindungi warganya.
Dua warga mengalami situasi darurat — dua duanya meninggal dunia, Namun dari keduanya, tanggung jawab negara nyaris tak terdengar.
Kasus Pertama – Balita Meninggal Tanpa Ambulans, La Sarian (4 tahun), pasien Puskesmas Wakorumba Selatan, Kabupaten Muna, meninggal dunia saat dirujuk ke RSUD LM Baharuddin di Raha. Alih-alih menggunakan ambulans, ia dipindahkan dengan mobil pick up tanpa alat medis, tanpa oksigen, tanpa pendamping medis. Ia meninggal di atas kapal feri sebelum sampai rumah sakit.
Berdasarkan Permenkes No. 31 Tahun 2019:
* Pasal 11 ayat (1): Rujukan harus sesuai kompetensi faskes dan mempertimbangkan kondisi medis pasien.
* Pasal 13 ayat (1): Sarana rujukan disesuaikan dengan kondisi pasien, termasuk ambulans.
Artinya, penggunaan ambulans bersifat kondisional, tapi wajib jika kondisi medis pasien kritis. Jika alasan tidak digunakannya ambulans adalah kerusakan atau keterbatasan sopir, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah:
* Di mana sistem mitigasi dan koordinasi darurat?
* Mengapa tidak ada alternatif rujukan terkoordinasi lintas fasilitas?
* Siapa yang bertanggung jawab atas absennya prosedur darurat bagi pasien gawat?
Kasus Kedua – Sopir Umum Jadi Korban Penikaman, Perawatan Tertunda Karena Biaya, Dedi Wahyudin (54), sopir angkutan umum Kendari–Bombana, menjadi korban penikaman brutal saat hendak menolong seorang pria tak dikenal di Terminal Baruga, 3 Mei 2025. Setelah dipukul dengan batu dan ditusuk dengan badik sebanyak empat kali, Dedi tetap berusaha melapor ke Polsek Baruga dalam keadaan berdarah-darah.
Ia kini menjalani perawatan di RSUD Bahteramas, namun operasi darurat yang dibutuhkan tertunda karena biaya tinggi. BPJS menyatakan tidak mengkover karena korban terlibat dalam kasus kriminal.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 jo. UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Permenkes No. 16 Tahun 2022:
* Korban tindak pidana berat, termasuk penganiayaan berat, berhak atas bantuan medis dan rehabilitasi dari negara.
* Pasal 7 UU 31/2014: Korban berhak mendapat perlindungan dan bantuan medis darurat tanpa harus menanggung biaya pribadi.
* Pasal 5 Permenkes 16/2022: Fasilitas kesehatan wajib memberikan layanan medis awal terhadap korban kejahatan tanpa diskriminasi.
Negara tidak boleh menunda penanganan medis korban kejahatan hanya karena kendala administrasi atau pembiayaan, terlebih jika korban dalam keadaan kritis.
Pernyataan Sikap, dua kasus, satu benang merah: tidak adanya kehadiran negara yang sigap, tanggap, Sementara dinas dan pemerintah daerah belum juga memberikan tindakan yang layak disebut sebagai responsif.
"Ini bukan hanya kegagalan prosedur. Ini kegagalan kemanusiaan. Ini bukan hanya soal teknis pelayanan, tapi soal tanggung jawab negara terhadap rakyatnya yang paling dasar: hak untuk hidup dan dilindungi."
Andika Syamsuri , Menteri Kesehatan BEM Universitas Halu Oleo angkat bicara.
KAMI MENUNTUT:
1. Gubernur Sulawesi Tenggara mencopot atau menonaktifkan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi hingga proses audit dan pemeriksaan tuntas.
2. DPRD Provinsi Sultra membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki ketiga kasus ini dan menggelar Rapat Dengar Pendapat Terbuka.
3. Pemerintah Provinsi dan Kementerian Kesehatan mengaudit menyeluruh sistem rujukan dan penggunaan ambulans serta akses kesehatan untuk korban kejahatan.
4. Penyelidikan independen dan transparan atas hilangnya Fentanyl serta publikasi hasil investigasinya kepada masyarakat.
Jika Negara Diam , Kami Mahasiswa akan bersuara, Jika dalam waktu dekat tidak ada tindakan nyata dari pihak pemerintah, maka:
BEM UHO akan melaporkan kasus ini ke Ombudsman RI dan Komnas HAM atas dugaan maladministrasi dan pelanggaran.
Pewarta: Asril
Editor: Redaksi