Notification

×

Iklan

Iklan

Kisruh PDAM Lembata Memuncak, Bupati Didesak Bertindak: Ancaman Penutupan Mata Air Waiplatin Mengintai

Minggu, 11 Mei 2025 | 18:33 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-12T01:34:07Z

 


LEMBATA – wartapers.com - Krisis berkepanjangan di tubuh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Lembata kini memasuki babak krusial. Tekanan terhadap Bupati Lembata P. Kanisius Tuaq agar segera menuntaskan persoalan seleksi penerimaan pegawai PDAM yang dinilai cacat prosedural dan sarat nepotisme kian menguat. Tak hanya mengguncang internal perusahaan, masalah ini telah berdampak sosial serius, termasuk penutupan sementara mata air Waiplatin oleh pemilik ulayat dari Suku Wutun sebagai bentuk protes.


Langobelen Gewura Fransiskus, Wakil Ketua DPRD Lembata sekaligus juga tokoh masyarakat dan pemerhati kebijakan publik di Lembata, menilai situasi ini sebagai “bom waktu yang dibiarkan berdetak terlalu lama.” Ia mendesak Bupati Lembata agar tidak abai terhadap rekomendasi DPRD dan keresahan masyarakat.


“Jika pemerintah daerah tak segera bersikap tegas, potensi konflik horizontal hingga krisis air bersih bisa terjadi kapan saja. Penutupan mata air Waiplatin itu sudah merupakan sinyal keras dari akar rumput,” tegas Fransiskus, Senin (12/5).


Politis PDI Perjuangan ini mengingatkan bahwa krisis PDAM ini bermula dari pelaksanaan tes penerimaan pegawai yang dinilai cacat baik secara prosedural maupun administratif. Hal itu bahkan diakui langsung oleh Direktur Utama PDAM Lambertus Ola Hara dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama DPRD Lembata, yang telah digelar sebanyak empat kali.


Fransiskus mengatakan, DPRD sendiri telah mengeluarkan rekomendasi resmi kepada Bupati untuk mengevaluasi total kinerja Dirut PDAM, mulai dari aspek keuangan, manajerial, hingga personalia dan infrastruktur. Rekomendasi itu juga mencakup desakan agar hasil tes pegawai PDAM yang kontroversial segera dibatalkan.


Fransiskus menyebut, “Transparansi dan akuntabilitas dalam rekrutmen pegawai adalah harga mati. Jika proses ini dibiarkan, PDAM tak hanya kehilangan kredibilitas, tapi juga mengorbankan pelayanan publik yang hakikatnya adalah milik rakyat.”


Dampak sosial dari konflik ini makin meluas setelah pemilik ulayat Suku Wutun mengambil langkah ekstrem dengan menutup mata air Waiplatin—sumber utama pasokan air bersih bagi ribuan warga. Ini dilakukan sebagai protes terhadap pengabaian perjanjian serah terima mata air yang ditandatangani pada 16 Juli 2007 antara Pemerintah Desa Nubamado dan Pemerintah Kabupaten Lembata.


Salah satu tuntutan utama Suku Wutun adalah revisi terhadap berita acara serah terima mata air tersebut. Mereka menilai ada ketimpangan dalam pengelolaan dan manfaat yang dirasakan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat.


DPRD menekankan pentingnya menggelar rapat kerja gabungan antara Pemerintah Daerah dan legislatif sebelum melakukan revisi dokumen tersebut. Hal ini untuk memastikan tidak ada celah privatisasi sumber air oleh pihak-pihak tertentu yang bisa merugikan masyarakat luas.


“Privatisasi air adalah isu serius. Jika pemerintah tidak segera bertindak, bukan hanya PDAM yang kolaps, tetapi juga legitimasi pemerintah daerah itu sendiri,” tambah Fransiskus.


Selain rekomendasi administratif, DPRD juga meminta Bupati segera membuka ruang mediasi antara Pemkab dan Suku Wutun untuk menghindari potensi konflik berkepanjangan.


Fransiskus menutup pernyataannya dengan peringatan keras, “Air adalah hak hidup rakyat. Jika dikelola dengan serampangan dan penuh kepentingan pribadi, maka kita sedang menggali lubang untuk krisis kemanusiaan.”



Pewarta:  sultan

Editor: redaksi 

×
Berita Terbaru Update