Lembata, wartapers.com - Boby Gesimaking bukan sekadar cerita pekerja migran. Ia adalah potret tentang keberanian melawan nasib. Ia tumbuh sebagai seorang anak petani dengan tangan kotor dari tanah. Kini anak kampung itu telah mengubah cangkul, tofa dan linggis menjadi kemudi, dan menjadikan sunyi Baopukang sebagai pangkal jalan menuju savana Afrika.
Ceruk senyap di kaki Ile Ape Timur menyimpan kisah tentang mimpi yang tak tumbuh dari buku, melainkan dari tanah. Di dusun kecil Baopukang, Lembata, lahirlah Boby Gesimaking—anak sulung keluarga petani yang hidupnya sejak kecil akrab dengan cangkul, debu kebun, dan sengat matahari. Tubuhnya gempal dan tangannya kekar drtas sorot mata yang tajam menyimpan nyala yang menolak menyerah pada garis nasib.
Boby tumbuh bersama musim, belajar dari ladang dan langit. Ayahnya, Elias Tobo, dan ibunya, Lesa Beda, bukan orang yang banyak bicara soal cita-cita. Tapi setiap tetes peluh mereka di kebun mengajarkan arti tanggung jawab dan ketulusan dalam bekerja. Boby tahu, jika ingin keluar dari lingkaran itu, ia harus berani mengambil jalan yang belum pernah dilalui.
Sebuah puisi sederhana yang ia temukan di bangku sekolah menggugahnya: “Pergilah, anakku. Carilah dunia yang belum sempat kulihat.” Dari bait itu, Boby menemukan keberanian untuk merantau. Ia pamit, memeluk kampung kecilnya dengan pelan, lalu menatap jauh ke seberang lautan.
Malaysia jadi tanah pijak pertama. Di Sabah, ia bekerja sebagai sopir truk kayu—profesi yang keras dan nyaris tak mengenal jeda. Debu jalanan, lumpur hujan, dan aroma tajam kayu basah menjadi bagian dari hidup hariannya. Tapi dari balik kemudi itulah, Boby mulai menapaki jalan keluar dari kemiskinan.
Ia belajar bukan di bangku sekolah, melainkan dari waktu yang tak pernah kompromi. Ia belajar disiplin dari jadwal pengiriman, belajar tanggung jawab dari beratnya muatan, dan belajar menghargai kepercayaan dari atasan yang tak pernah melihat ijazah, hanya melihat hasil.
Tanpa banyak bicara dan tanpa gelar tinggi, Boby mencuri perhatian. Perusahaan asing mulai memperhatikan konsistensinya. Dan pada suatu hari, datang tawaran yang bahkan tak pernah ia bayangkan: bekerja sebagai sopir logistik di Afrika Tengah.
Ia terbang ke benua baru dengan hati gemetar namun mantap. Di Babon, Afrika Tengah, Boby kembali naik ke truk besar—kali ini melintasi padang savana, menembus jalanan liar dan panas yang tak kenal kompromi. Bahasa berbeda, iklim berbeda, budaya asing—semuanya tak membuatnya gentar.
Gaji lima juta rupiah per bulan dalam mata uang CFA Franc mungkin tampak biasa bagi sebagian orang. Tapi bagi Boby, itu berarti anak-anaknya bisa lanjut sekolah, istrinya bisa bernapas lebih lega, dan ia sendiri bisa mulai menabung untuk membawa perubahan.
Di tengah para pekerja lokal, Boby dikenal sebagai “dreba”—sopir dari negeri jauh yang bekerja dengan jujur, tepat waktu, dan tak pernah mengeluh. Ia tak banyak bicara, tapi semua tahu: jika Boby yang pegang setir, barang akan sampai, tepat waktu dan utuh.
“Saya tidak pandai bicara, tapi saya tahu cara bekerja jujur,” katanya dalam sebuah pesan suara yang dikirim dari padang Afrika, suaranya datar tapi penuh keyakinan.
Kini, kontraknya terus diperpanjang. Ia bahkan dipercaya melatih sopir-sopir lokal, mengatur rotasi kerja, dan memastikan truk-truk tetap berjalan meski medan tak bersahabat. Ia tak lagi sekadar anak kampung—ia menjadi standar baru dalam dunia kerja yang tak kenal ampun.
Namun seberapapun jauhnya ia pergi, satu hal tak pernah luntur: keinginan untuk pulang. Boby menyimpan rindu untuk kembali Baopukang, Desa Jontona, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, membuka kebun sendiri, dan menjadi saksi bahwa mimpi bisa besar meski seseorang lahir kecil.
“Saya ingin anak-anak di kampung tahu, bahwa kita bisa sampai ke mana saja asal kita mau belajar dan tidak malas. Ijazah itu penting, tapi yang lebih penting adalah cara kita menjaga diri dan bekerja dengan hati,” ucapnya.
Kisah Boby Gesimaking bukan sekadar cerita pekerja migran. Ia adalah potret tentang keberanian melawan nasib, tentang tekad yang dibentuk bukan dari kemewahan, tapi dari kekurangan. Dari Lembata ke Malaysia, lalu ke Afrika, Boby telah membuktikan: harapan tidak berjalan kaki—ia naik truk, menembus batas, dan terus mencari jalan pulang.
Pewarta: sabatani
Editor; redaksi