Gerakan Membaca di Negeri “Malas Baca”
LEMBATA , wartapers.com - "Kalau ASN malas baca tapi rajin kerja, itu masih bisa dimaklumi. Tapi kalau malas baca dan malas kerja, itu yang disebut sempurna!"
Pernyataan satir itu meluncur dari mulut Bupati Lembata, P. Kanisius Tuaq, dalam suasana yang setengah serius setengah jenaka di Aula Goris Keraf, Rabu, 10 September 2025. Di hadapan para kepala dinas, guru, penggiat literasi, hingga tokoh agama, ia meluncurkan Gerakan Lembata Membaca—sebuah inisiatif yang lahir justru di tengah keprihatinan: hanya 1,9 persen Aparatur Sipil Negara (ASN) di Lembata yang memiliki minat baca.
Data itu disampaikan oleh Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Lembata, Anselmus Asan Ola, dalam pembukaan Forum Rapat Kerja Perpustakaan Tingkat Kabupaten. Ia menyebut, rendahnya minat baca di kalangan birokrasi bukan sekadar soal kebiasaan pribadi, tetapi cermin dari budaya kerja yang krisis orientasi belajar.
“ASN seharusnya jadi panutan. Kalau mereka sendiri tidak gemar membaca, bagaimana bisa mendorong masyarakat untuk belajar dan tumbuh?” ujar Anselmus, lugas.
Gerakan Lembata Membaca hadir sebagai respons strategis atas persoalan itu. Peluncurannya ditandai dengan penandatanganan komitmen Kerja Sama Operasional tentang Peningkatan Kemampuan Literasi di Satuan Pendidikan. Penandatanganan dilakukan oleh Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Lembata, Anselmus Asan Ola; Kepala Kementerian Agama Kabupaten Lembata, H. Jamaludin Malik; Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lembata, Wenseslaus Ose; dan Koordinator Pengawas SMA/SMK/SLB Kabupaten Lembata, Yohanes Mamun.
Kesepakatan ini menjadi pijakan awal bagi kolaborasi antar-lembaga dalam meningkatkan akses dan kualitas literasi di sekolah-sekolah di bawah kewenangan Kemenag maupun Kemendikbud. Program-program seperti perpustakaan keliling, penguatan pojok baca di satuan pendidikan, serta pelatihan literasi bagi pendidik dan tenaga kependidikan, akan menjadi fokus bersama.
Bupati Kanis Tuaq menegaskan bahwa gerakan ini bukanlah agenda seremonial atau proyek jangka pendek.
“Ini bukan kegiatan iseng. Ini gerakan perubahan. Kita ingin membangun budaya berpikir di tengah masyarakat yang makin terbiasa konsumtif secara informasi tapi miskin literasi,” katanya.
Bunda Literasi Lembata, Ursula S. Bayo, menambahkan bahwa literasi adalah investasi jangka panjang yang tak bisa dijalankan setengah hati.
“Rapat kerja ini bukan rutinitas tahunan. Ini ruang evaluasi dan refleksi. Literasi tidak berhenti di membaca buku, tetapi menciptakan ruang yang kondusif agar semua lapisan masyarakat bisa belajar dan tumbuh bersama,” ujar Ursula.
Di forum yang dihadiri oleh pengurus Taman Bacaan Masyarakat (TBM), imam masjid, pastor, guru, dan tokoh masyarakat itu, harapan mulai tumbuh bahwa Lembataa benar-benar serius ingin keluar dari belenggu "malas baca".
“Membaca adalah jembatan pengetahuan. Tanpa membaca, daya saing kita hanya akan jadi slogan,” kata Anselmus.
Dengan Gerakan Lembata Membaca, pemerintah daerah berharap bisa mengubah kenyataan pahit itu: dari angka 1,9 persen menjadi ekosistem literasi yang hidup. Karena seperti dikatakan Bupati Tuaq—malas baca dan malas kerja adalah kesempurnaan yang tak patut dibanggakan.
Pewarta: sabatani
Editor; redaksi