Tobo Baung di Kolontoba: Adat dan Cinta Perempuan dalam Bingkai Pelindung Anak Lembata”
KOLONTOBA, wartapers.com – Tobo Baung Lewohala, Lewotolok, dan Lewoulun menjadi ruang bertemunya nilai adat dan nurani manusia. Tobo Baung di pante epo Ohe Kolontoba, Kamis (6/11/2023), difasilitasi oleh Forum Puspa bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Lembata, menghadirkan pandangan masyarakat adat tentang perempuan dan anak dalam bingkai kearifan lokal.
Dari forum itu, terjalin benang merah antara adat dan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Adat bukan sekadar ritual, melainkan ruang moral yang menuntun cara manusia memperlakukan sesama dengan hormat dan kasih. Perempuan, dalam pandangan adat , bisa menjadi ibu, istri, opuwae, bine ana, dan ha ana sosok yang berlapis peran dan tanggung jawab.
Pendekatan terhadap perempuan berstatus istri misalnya, digambarkan melalui mahar atau gading, dan dikenal sebagau simbol penghargaan dan martabat. Diskusi bertajuk “Peran Adat terhadap Perempuan dan Anak” itu menghasilkan satu pesan besar: etika dan perilaku menjadi dasar utama agar manusia hidup selaras dengan sopan santun sejak dari keluarga.
Kepala Desa Kolontoba, Lambertus Nuho Benimaking, dalam sambutan penutupnya menjeneralisir makna forum tersebut. “Kita semua harus berperilaku baik dengan tidak melanggar proses. Adat mengajarkan bahwa menghormati perempuan dan anak adalah menjaga keseimbangan hidup,” ujarnya.
Dialog itu juga memuat pesan spiritual adat yang dalam. Jika seorang istri suku (janda) menikah dengan laki-laki dari luar suku, maka witi tue bala bali aha kena woi lala tanda peringatan adat akan batas-batas moral dan kesetiaan yang harus dijaga. Nilai ini menegaskan bahwa adat sejatinya tidak menindas, tetapi melindungi.
Kadis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Lembata Maria Anastasia Bara Baje pada kesempatan itu menuturkan bahwa diskusi seperti ini mengingatkan masyarakat adat akan nilai-nilai yang mulai pudar.
“Banyak hal penting sudah mulai dilupakan. Misalnya, mengapa harus pakai air atau kelapa dalam prosesi adat? Semua itu punya makna filosofi. Kalau kita tidak ajarkan ke anak-anak, nilai itu akan hilang,” ujarnya.
Ia menambahkan, tradisi tidak hanya diwariskan lewat cerita lisan, tetapi bisa juga ditulis agar tidak hilang di zaman digital ini.
“Budaya dibentuk oleh kesepakatan pertama dan perilaku pertama. Kalau kita tidak tulis, maka akan berhenti di generasi kita,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya membangun kesepakatan adat baru untuk masa depan anak-anak. “Kita perlu seminar adat supaya anak-anak tahu bagaimana berjalan dalam tata cara yang benar. Anak-anak harus belajar berbicara sopan, berdiri dengan hormat, seperti yang diajarkan leluhur,” ungkapnya.
Forum itu, peserta juga menyoroti pentingnya pendidikan adat di sekolah. Muatan lokal dianggap perlu untuk menghidupkan kembali nilai budaya yang kini mulai ditinggalkan generasi muda.
“Kalau anak-anak tidak diajar, maka mereka hanya tahu adat sebagai cerita, bukan sebagai jiwa,” tutur salah satu peserta perempuan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Lembata juga menyampaikan apresiasi atas penyelenggaraan Tobo Baung. Ia menegaskan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak boleh dilepaskan dari akar budaya.
“Budaya justru memperkuat nilai-nilai kemanusiaan yang melindungi perempuan dan anak,” katanya.
Ketua Forum Puspa Kabupaten Lembata, Ambros Lein, menyampaikan bahwa diskusi ini menjadi bagian penting dari gerakan sosial untuk mempertemukan nilai adat dan perlindungan hukum modern. “Adat bukan musuh perempuan, tapi penjaga harkatnya. Kita ingin agar pesan ini sampai ke seluruh kecamatan,” ujar Ambros.
Ia berharap agar kegiatan serupa bisa digelar di kecamatan lain, karena nilai-nilai luhur tidak boleh hanya berhenti di Kolontoba. “Tuhan berkenan bila adat digunakan untuk melindungi, bukan menindas. Dari sinilah kesejahteraan perempuan dan anak bisa bertumbuh,” tutupnya.
Tobo Baung Kolontoba tahun ini menoreh makna: adat bukan hanya warisan, tetapi napas moral yang menghidupi masyarakat. Sebab, seperti peribahasa Lembata, “Lawi blua ta’e bale, doan bala ta’e dena” yang berarti, siapa yang menjaga akar budayanya, dialah yang akan berteduh di bawah pohon kesejahteraan.
Pewarta : sabatani
Editor: redaksi

