"Janji di Ladang Kering”: Lakon Teater 7 Maret Hadakewa yang Menggetarkan Emosi Tentang Cinta dan Penyesalan Seorang Anak Petani

HADAKEWA, wartapers.com – Gestur tubuh para pemain teater malam itu tampak begitu hidup—gerak mereka pelan namun sarat makna, pandangan mata tajam, dan suara penuh emosi. “Air tenang menghanyutkan,” demikian kiranya suasana di halaman SMPN 7 Maret Hadakewa, Selasa malam (4/11/2025). Dalam balutan sederhana namun penuh makna, Teater Nyala Spentum mempersembahkan lakon “Janji di Ladang Kering”, karya sekaligus arahan Frans B. Kedang Kaona. Pementasan ini bukan hanya penutup Bulan Bahasa, tetapi juga persembahan istimewa memperingati dua dekade perjalanan SMPN 7 Maret Hadakewa sebagai sekolah yang menyalakan api kreativitas dan karakter.

Dua belas siswa tampil di bawah sorotan lampu sederhana, memainkan peran dengan kedalaman emosi yang menyentuh hati. Mereka memerankan tokoh-tokoh seperti Rio, ayah dan ibu Rio, seorang dokter, tukang ojek, serta teman-teman sekelas Rio yang memperkuat alur cerita dengan peran kecil namun bermakna. Dengan tata cahaya lembut dan musik pengiring yang melankolis, halaman sekolah menjelma menjadi panggung refleksi yang memukau, memikat ratusan penonton yang larut dalam kisah penuh haru.

Cerita berpusat pada Rio, anak seorang petani sederhana yang merasa malu karena menjadi satu-satunya siswa tanpa ponsel Android. Dengan nada kesal dan penuh gengsi, ia mendesak ayahnya untuk membelikannya ponsel baru seharga dua juta rupiah. “Semua teman punya HP bagus, hanya aku yang tidak!” teriak Rio di atas panggung, menyuarakan kegelisahan generasi muda yang sering terjebak dalam ilusi kemewahan.

Dua sahabatnya, Dimas dan Ria, mencoba menasihati Rio agar lebih menghargai kerja keras orang tuanya. “Nilai ulangannya kamu lebih baik dari yang pegang HP, Rio. Jangan jadikan HP ukuran bahagia,” kata Dimas lembut. Namun Rio bersikeras, bahkan menuding ayahnya malas dan miskin—sebuah adegan yang membuat suasana panggung kian menegangkan.

Ketegangan memuncak ketika ayah Rio jatuh di ladang karena kelelahan bekerja. Seorang pengendara tukang ojek datang membawa kabar buruk, dan seketika suasana berubah hening. Musik latar berganti nada pilu. Dalam keheningan, Rio membaca sepucuk surat dari ayahnya:

“Nak, ini hanya sebagian uang yang Ayah titipkan. Jangan marah, Ayah sedang berusaha untukmu…”

Suara Rio bergetar ketika membacanya. Lampu panggung meredup, beberapa penonton tampak menunduk, tak kuasa menahan air mata. Tak lama, seorang dokter muncul dan menjelaskan bahwa ayah Rio terluka parah karena terlalu memaksakan diri. “Ayahmu memaksa bekerja demi janji kecil padamu,” ucap sang dokter lirih.

Kesadaran pun datang menghantam Rio. Dalam adegan puncak, ia menjerit penuh sesal, “Aku tidak butuh HP, Ayah. Aku hanya butuh Ayah sembuh. Aku janji akan bantu Ayah di ladang.” Kalimat itu menjadi klimaks emosional yang mengguncang hati penonton.

Pementasan ditutup dengan pelukan Rio dan ayahnya, diiringi cahaya kuning lembut dan musik sendu. “Kesehatan Ayah lebih penting dari segalanya,” ujar Rio menutup lakon, meninggalkan pesan moral yang membekas dalam hati penonton.

Tepuk tangan panjang menggema di halaman SMPN 7 Maret Hadakewa malam itu. “Janji di Ladang Kering” bukan sekadar pentas seni, melainkan cermin kehidupan—tentang pengorbanan yang sering tak terlihat, tentang cinta yang tak perlu diumbar, dan tentang kesadaran bahwa kebahagiaan sejati lahir dari rasa syukur, bukan dari gengsi.

Frns B. Kedang Kaona, sang pelatih sekaligus penulis naskah, menyampaikan pesan filosofis seusai pementasan. “Teater adalah ruang permenungan. Di sana, kita tidak hanya belajar berakting, tapi belajar menjadi manusia. Dalam janji dan penyesalan Rio, ada cermin bagi kita semua—bahwa cinta orang tua tak pernah kering, bahkan di ladang yang paling gersang,” ujarnya penuh makna.


Pewarta: sabatani

Editor; redaksi 

KABAR NASIONAL
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Memuat BERITA UPDATE TERKINI…

𝐖𝐀𝐑𝐓𝐀 𝐋𝐈𝐏𝐔𝐓𝐀𝐍 𝐏𝐎𝐏𝐔𝐋𝐄𝐑

Memuat...